Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla.

 Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang telah membuat nyawa ratusan suporter melayang.

Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) pun menilai, tragedi Kanjuruhan merupakan sebuah kegagalan koordinasi berbagai pihak yang terlibat.

Satu di antara contohnya, Statuta Federation Internationale de Football Association (FIFA) yang tidak tersosialisasikan dengan baik.

Padahal di dalamnya terdapat aturan mengenai penanganan kerusuhan.

Termasuk tidak diperkenankan penggunaan gas air mata.

“Statuta FIFA ini informasinya tidak dapat diterima oleh pihak kepolisian,” kata Ketua Umum PSTI, Ignatius Indro pada Senin (17/10/2022) di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Selain itu PSTI juga menilai, aparat kepolisian seringkali masih menggunakan kekerasan dalam menangani kerusuhan pada even pertandingan sepak bola.

“Budaya kekerasan dari kepolisian juga harus diperbaiki,” kata Ignatius.

kolase foto selongsong gas air mata yang ditembakkan di stadion kanjuruhan dalam Tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 2022. Selongsong gas ini jadi barang bukti dan kondisi stadion Kanjuruhan saat tembakan gas air mata dilepaskan aparat. (Kolase Tribunnews/Suryamalang.com)

Oleh sebab itu, PSTI menuntut pertanggung jawaban dari pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang tidak melaksanakan pengamanan sesuai dengan Statuta FIFA.

Kemudian Persatuan Sepakbola se-Indonesia (PSSI) juga dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Sebab, PSSI semestinya menyosialisasikan statuta tersebut secara baik.

PSTI pun mendukung rekomendasi Tim Gabungan Investigasi Pencari Fakta (TGIPF) yang merekomendasikan Ketua Umum PSSI, Iwan Bule untuk mundur dari jabatannya.

“Kita sih sepakat karena ini pertanggung jawaban moral dari PSSI.”

Sumber Artikel.